Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) menjadi momen penting untuk merefleksikan nilai-nilai kemanusiaan yang tertuang dalam berbagai regulasi pemerintah.
Tujuan utamanya adalah menjamin hak perlindungan dan keamanan bagi perempuan di seluruh sektor kehidupan.
Momen ini juga menjadi ajang solidaritas global untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang sering kali terabaikan.
Gerakan ini menjadi seruan kolektif terhadap ketidakadilan dan kegagalan moral dalam menjaga etika kehidupan sosial.
Perempuan, yang sering kali berada di posisi paling rentan, kerap menjadi korban berbagai bentuk kekerasan—baik itu kekerasan seksual, fisik, maupun psikis.
Dalam konteks ini, PC PMII dan KOPRI Ciamis Pangandaran menyelenggarakan aksi dan mimbar bebas untuk menyuarakan aspirasi serta mempertegas komitmen melindungi perempuan dari ancaman kekerasan.
Acara tersebut tidak hanya menjadi bentuk dukungan moral tetapi juga menjadi bagian dari upaya berkelanjutan untuk menekan tindakan predatoris yang sering kali muncul di ruang-ruang publik.
Tindakan ini diharapkan mencakup sektor pemerintahan, pendidikan formal, hingga lingkungan sosial lainnya.
Kritik terhadap Kekerasan dalam Lingkungan Pendidikan
Ketua KOPRI Ciamis Pangandaran, Sarah Annisya, menyampaikan keprihatinannya terhadap meningkatnya kasus kekerasan seksual, terutama di lingkungan lembaga pendidikan seperti pesantren.
“Kami sangat miris melihat kasus kekerasan seksual yang semakin marak, apalagi beberapa kasus terjadi di pesantren yang seharusnya menjadi tempat pembentukan moralitas keagamaan,” ujar Sarah.
Sarah juga mengecam keras para pelaku kekerasan seksual yang menggunakan citra religius untuk menutupi tindakan bejat mereka.
“Beberapa pelaku bahkan memanfaatkan istilah ta’dzim untuk membuka celah melakukan kekerasan seksual yang memenuhi hasrat pribadi mereka,” tambahnya.
Penanganan Kasus yang Belum Maksimal
Meskipun sejumlah kasus kekerasan telah ditindak melalui proses hukum hingga upaya trauma healing untuk korban, masih banyak kasus lain yang berakhir dengan penyelesaian damai atau sekadar pemberian kompensasi.
Hal ini dianggap sebagai bentuk ketidakadilan bagi para penyintas.
Sarah menegaskan pentingnya pendekatan edukasi untuk mencegah terjadinya kekerasan berbasis gender.
Terkait penanganan bagi para penyintas, pihaknya tidak bisa memaksakan prosedur tertentu.
“Namun, yang harus kita masifkan adalah edukasi untuk membuka pola pikir masyarakat agar mereka memahami dan mendapatkan hak perlindungan dan keamanan sebagaimana mestinya,” tuturnya.
KOPRI dan Komitmen Jangka Panjang
Aksi yang digagas oleh KOPRI tidak berhenti pada sekadar kampanye. Mereka terus berupaya mengawal keberlangsungan program-program yang bertujuan untuk mencegah kekerasan berbasis gender.
Hal ini melibatkan sinergi dengan berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga pendidikan, maupun komunitas masyarakat.
KOPRI juga menyerukan agar semua pihak lebih tegas dalam menindak pelaku kekerasan, serta memastikan bahwa perempuan memiliki ruang yang aman untuk beraktivitas tanpa rasa takut.
16 HAKTP menjadi momentum strategis untuk melahirkan perubahan yang nyata dan memperkuat upaya kolektif dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.